Sunday, January 8, 2017

Kisah Pendekar Bunga - Chapter 4 - Paman dan Bibi Yuan

Kuda yang ditunggangi oleh chen dan A chu, melesat dengan cepat melewati jalan setapak didalam hutan. Entah sudah berapa lama mereka berjalan. Kuda itu tampak amat kelelahan, karena dipaksa berlari siang dan malam tanpa Henti.

Akhirnya kuda itu tumbang, setelah mereka tiba di sebuah kuil terlantar. Dari mulut kuda itu mengeluarkan busa.

Kuil itu adalah kuil pemujaaan kepada dewa perang, dimasa damai seperti sekarang, kuil ini sudah ditinggalkan para penganutnya.

A chu berjalan memasuki kuil tersebut sambil membopong Chen yang sudah tidak bertenaga, karena racun dari luka ditubuhnya nampaknya mulai bereaksi.

"Permisi … apakah ada orang didalam? Maafkan kelancangan hamba yg masuk tanpa izin "

Namun tidak ada jawaban sama sekali dari dalam. Karena memang bangunan ini sudah lama tidak dikunjungi manusia. Kuil ini sangat tidak terawat, Atapnya sudah pada rusak dan hilang sebagian. Bahkan dilantai, sudah mulai ditumbuhi rumput - rumputan liar.

Ditengah - tengah ruangan terlihat patung Kuan Yu, yang walaupun sudah usang dan tumbuh lumut dimana - mana, namun masih memperlihatkan keangkeran dan keagungan sang dewa perang.

A chu menyenderkan tubuh Chen disamping meja tempat pemujaan. Lalu dia bertanya :

"Paman Chen bagai mana kondisi tubuhmu ? " Tidak ada jawaban dari Chen.

Tidak lama A Chu kembali bertanya sambil memanggilnya dengan perlahan.

"Paman Chen."

Tiba - tiba tubuh Chen bergerak sedikit. Tampak dia masih mencoba mengumpulkan sisa - sisa tenaganya. Lalu dia berkata dengan suara yang amat lirih :

"Tuan muda syukurlah kau selamat, uhuk kau jangan kawatir tuan muda aku baik- baik saja."

Chen berusaha membuka kedua matanya namun tampak sangat sulit, akhirnya dengan mata terpejam dia bertanya :

"Dimanakah kita sekarang tuan muda ?"

"Kita berada disebuah kuil pemujaan dewa perang Kuan Yu yang sudah usang dan tidak berpenghuni" A chu mencoba menjelaskan sambil matanya melihat sekeliling.

"Ah kuil pemujaan ini aku sepertinya.." Chen ingin berkata - kata namun segera dipotong oleh A chu.

"Paman Chen kau tidak usah berbicara dulu.cobalah untuk Beristirahat sejenak, guna menyimpan tenaga untuk memulihkan tubuhmu dahulu."

Namun Chen yang merasa kalau waktunya tinggal sedikit lagi, mencoba untuk menghimpun tenaga .
Dia menghirup nafas dalam - dalam lalu berkata :

"Tuan muda dengarkanlah, Aku berusaha membawamu ketempat paman dan bibimu di kota Yang Ciu, yang juga merupakan daerah asalku. Dan kuil ini adalah tempat yang sering aku kunjungi sewaktu kecil. Maka dari itu aku tahu kalo kita sudah berada dekat dengan kota Yang Ciu . Nah Sekarang , Tuan muda Kau segeralah pergi kesana dan hiduplah dengan tegar dan kuat. Semoga tuhan Selalu memberkatim. Selamat ting.. uhuk "

Darah segar menyenbur keluar dari mulut Chen. Tampaknya kondisi tubuhnya sudah sangat buruk.

A chu sangat kaget wajahnya tampak tegang, dan dengan nada agak panik dia berkata :

"Paman Chen bertahanlah! Aku akan segera pergi kekota dan mencari tabib untuk mengobatimu" seru A chu dengan gelisah.

Namun sudah tidak ada jawaban dari Chen. Nafasnya sudah putus.

A chu tidak dapat menahan lagi gejolak perasaanya, dan menangis dengan sangat keras. A chu menangisi hidupnya yang telah dipermainkan sang nasib. Penjaga sekaligus salah satu orang terdekatnya kini telah tiada, Ayah dan Ibunya tidak jelas keadaanya, apakah masih hidup ataukah sudah ajal. Dalam sekejap mata, kehidupan A chu telah berbalik seratus delapan puluh derajat. Padahal rasanya baru kemarin, dia Makan malam dan tertawa bersama kedua orang tuanya. Menerima kehangatan mereka. Dan Baru kemarin pula dia bercanda - canda dengan Chen. Sekarang Orang - orang itu sudah tiada. A chu berteriak - teriak sambil menangis tiada henti.

Setelah agak lama, A chu baru sanggup menguatkan hatinya . Dia menggali tanah dibelakang kuil dan menguburkan janazah Chen disitu.

"Paman Chen, beristirahatlah dengan tenang disini , terima kasih atas semua kebaikanmu terhadapku, semoga kau diberi kebahagiaan dikehidupan selanjutnya" A chu berdoa dan berpesan didepan kuburan paman Chen.

Setelah itu A Chu mulai melanjutkan perjalanan, tujuannya adalah Kota Yang ciu tempat paman dan bibinya berada. Waktu kecil dia sempat diajak oleh ayahnya berkunjung kesana.

Diperjalanan menuju kota YangCiu, A chu mulai berfikir.

Semua kejadian menyedihkan yang baru saja menimpanya. Hanyalah disebabkan oleh sebuah kitab ilmu silat. Bahkan gurunya yg selama ini dihormatinya adalah pembunuh kedua orang tuanya Hal ini membuat A chu membenci pelajaran ilmu silat. dan Sangat mendendam kepada bekas Gurunya.

Akhirnya setelah berjalan agak lama,A chu tiba disebuah kota yang cukup besar. Karena masih pagi maka jalanan masih tampak sepi. Namun para pemilik toko sudah pada sibuk untuk merapihkan dan menata meja - meja didepan tokonya.

A chu menghampiri sebuah kedai bakmi kecil dipersimpangan jalan. Perutnya sudah perih karena entah sudah berapa lama perutnya tidak diisi makanan.

Pemilik toko itu adalah seorang kakek berwajah ceria. Dia sedang melap meja makan didepan tokonya sambil bersiul riang. Begitu melihat A chu mendadak dia berhenti dan menghampirinya .

"Nak, darimana asalmu ? Apa yang menimpamu sehingga kau sebegini rupa kotor dan bau, apakah kau sudah makan ? "

Tanya Kakek itu sambil menghampiri A chu, dan melihat A Chu dari kepala sampai keujung kaki. Sekian lama dia menatap A chu . Belum sempat A chu menjawab kakek itu sudah berkata lagi :

"Ah.. tidak perlu kau jawab sekarang, pasti ada hal teramat berat yang menimpamu, sekarang marilah masuk, akan kubuatkan daharan untuk menangsal perutmu dulu, sehabis itu barulah kita bicara "

Kakek itu menuntun A chu kedalam tokonya , dia mempersilahkan A chu duduk dan segera memberinya segelas air, lalu dia berkata :

"Tunggulah sebentar disini ! aku akan memasakan bakmi untukmu, jangan pergi kemana - mana"

A chu mengangguk perlahan. Beberapa saat kemudian dua buah bakmi dan beberapa buah bakpao sudah dihidangkan di atas meja.

"Nah, akupun belum makan ,marilah kita makan bersama - sama, kau makanlah yang banyak" seru kakek itu.

A chu dengan lahap menyatap makanan tersebut. Tidak beberapa lama si Kakek mulai bercerita :

"Bagus makananlah dengan lahap nak. Dulu juga aku sering makan pagi dengan cucuku. Waktu dia seumurmu. Setiap pagi dia membantuku membuka toko, lalu kami biasa makan pagi bersama seperti ini” kakek itu berhenti sejenak untuk minum , lalu dia melanjutkan :

“Sekarang Cucu ku itu sudah menjadi pembesar negeri, dia sempat mengajak aku tinggal bersamanya, namun aku tidak bisa lepas dari toko ini ha ha" kakek itu bercerita dengan bangga, sambil sesekali matanya menerawang jauh.

A chu mendengarkan cerita kakek itu dengan hikmat, sambil menyantap makananya tanpa bersuara. Dia merasa kakek ini sangat menarik dan juga baik hati. Bagi A chu kehangatan yang diberikan oleh Kakek ini, sangatlah berarti untuknya saat ini, ketika dia baru saja kehilangan orang - orang tetdekatnya.

"Oh iya nak, aku baru ingat, sepertinya aku masih memiliki baju - baju peninggalan cucuku dulu. Mungkin kau bisa memakainya sehabis kau membersihkan diri, tunggu disini sebentar !" kata kakek itu tiba - tiba. Kemudian dia berdiri dan masuk keruangan dalam.

Melihat hal ini A chu mempercepat makanya. Dan dia mulai mencari - cari didalam kantung bajunya, dan menemukan sebuah mainan yg terbuat dari emas. Mainan itu merupakan pemberian dari ayahnya ketika ulang tahun A chu dulu. A chu segera meletakan mainan itu diatas meja, dan dia segera berdiri dan bergegas pergi keluar toko itu. Dia menoleh sebentar kearah toko itu dan berkata :

"Maafkan aku kakek, kau sangat baik terhadapku, namun aku tidak bisa terlalu lama disini. Mungkin guruku akan segera tiba disini dan membawa petaka terhadapmu. Aku tidak bisa melibatkanmu dalam kemalanganku. Terima kasih banyak, Selamat tinggal" A chu kembali berjalan kearah tengah kota yang sudah mulai ramai .

Tidak lama kemudian kakek itu kembali ke meja makan, sambil membawa beberapa potong pakaian, namun alangkah kagetnya dia ketika tiba - tiba, dia sudah tidak melihat keberadaan A chu disitu.
Dan dia melihat diatas meja, terdapat sebuah mainan dari emas yang sangat tinggi nilainya bila dijual.

Kakek itu mulai duduk. Dia termenung aga lama sambil menatapi mainan itu. Lalu dia bergumam :

“Alangkah baiknya dirimu nak, kau meninggalkan mainan emas ini untuk membayar makananmu, ha ha .. apakah kau takut aku akan merugi, padahal kau sepertinya lebih membutuhkan emas ini daripada aku. Baiklah ,Mainan ini akan aku simpan, apabila kelak kau ingat kakek ini dan berkunjung kesini, aku akan mengembalikanya kepadamu. Aku berdoa Semoga masalah apapun yang menimpamu cepat selesai dan kau dapat hidup bahagia nak"

Kakek itu masih termenung disitu. Sementara Suasana diluar sudah mulai ramai oleh hiruk pikuk orang - orang kota.

A chu berjalan dengan perlahan, dia menghampiri seorang pedagang kelontong yang berada dipinggir jalan.

"Permisi paman, aku mau bertanya, dimanakah letak kediaman keluarga Yuan ?"

"Keluarga Yuan ? Kalau kau maksut keluarga pendekar besar Yuan. Mereka tinggal di kaki bukit yang terletak belakang kota . Sebuah rumah dengan halaman luas.hanya ada satu disana"
jawab paman pedagang kelontong sambil menunjukan arah kepada A chu.

"Terima kasih paman" kata A chu sambil berlalu. Maklumlah setiap A chu kesini bersama ayah dan ibunya, mereka selalu menunggangi kereta kuda, sehingga dia tidak mengetahui pasti, letak kediaman paman dan bibinya.

Setelah berjalan sekian lama, akhirnya A chu tiba disebuah bangunan megah dipinggir kota. Bangunan ini dikelilingi pagar tembok yang tinggi, seperti ingin memutus hubungan dengan dunia luar. Didepan terdapat pintu besar bercat merah dan diatas pintu itu tetdapat papan nama bertulis

‘Rumah kediaman Yuan tan si telapak besi'

Ilmu pukulan telapak besi keluarga Yuan sudah terkenal sejak dulu, dan diwariskan secara turun temurun. Kini ditangan Yuan tan ilmu ini berkembang dengan pesat, dan berhasil menjagoi wilayah Yang ciu dan sekitarnya.

A chu mngetuk pintu dan sedikit berteriak :

"Permisi "

Namun tidak ada jawaban dan tanda - tanda pintu akan dibuka. Maka sekali lagi A chu mulai mengetuk aga keras. Kali ini terdengar dari dalam suara orang menghampiri. Lalu pintu itu dibuka .

Seorang pria setengah umur berperawakan kurus tinggi dan berwajah galak keluar. Dia kemudian menghampiri A chu.

"Hei, ada keperluan apa Anak kecil ? Pakai segala ribut - ribut disiang bolong" Kata pria itu dengan sinis. Pria itu menatap A chu dari atas kebawah. Dan berkata lagi

"Kalau kau ingin mengemis pergilah dari sini"

A chu tersenyum getir mendengar perkataan orang itu. Namun memang penampilan A chu tidak jauh beda dengan kaum pengemis. Dekil dan bau.

"Oh aku hanya ingin mngunjungi paman dan bibi. Apakah mereka sedang ada dirumah?" Jawab A chu dengan sopan dan ramah.

Orang itu mulai menatap wajah A chu aga lama. Lalu dia mulai berbalik dan masuk kedalam rumah itu.

Tidak lama kemudian seorang nyonya keluar dari dalam rumah. Nyonya itu berparas cantik dan berpotongan sedang. Wajahnya sangat mirip dengan nyonya Li.

Nyonya itu bergegas menghampiri A chu dan berkata :

"A chu ! Mengapa kau ada disini? Loh apa yag terjadi pada dirimu nak? "

Nyonya itu melihat keadaan A chu yang mengenaskan.

Belom sempat A chu menjawab nyonya itu sudah memeluk A chu.

"Oh A chu. Musibah apa yang menimpamu? Tenanglah kini kau sudah aman bersama kami" nyonya itu memeluk A chu sambil menitikan air mata.

Tidak lama kemudian nyonya itu mengajak A chu masuk.

Rumah itu memiliki pekarangan yang cukup luas. A chu diajak masuk keruang tengah . Disana sedang duduk seorang pria berpotongan tinggi besar. Pria itu Sedang meminum teh dan membaca sebuah buku.

Pria ini tampak sangat gagah. Dia Mengenakan pakaian serba putih. Pria ini menoleh kepada A chu dan tampak Kaget.

"Kau, bukankah kau A chu ? Apa yang menimpamu nak" tanya pria itu tampak khawatir.

Pria itu memiliki potongan wajah yang bersahabat dengan kumis pendek menghiasi wajahnya dan mata yang bersinar lembut. Dia menghampiri dan memegang pundak A chu.

"Ayah dan ibu telah dibunuh"

Jawab A chu sambil memejamkan matanya. Bila terbayang kejadian menyedihkan yang baru menimpanya dia selalu ingin menangis dan berteriak.

"Apa ? Bedebah ! Siapa yang tega membunuh mereka? " Pria itu naik pitam. Terlihat semacam penyesalan dan kesedihan dimatanya.

Sang nyonya yang tidak lain bibi dari A chu Yuan lim si, tidak kuasa menahan emosinya. Air mata pun sudah mengalir dari matanya. Lalu dia berkata :

"Oh A chu betapa malang nasibmu, kau masih sangatlah muda, dan sudah tertimpa musibah sedemikian memilukan" lalu bibi yuan memeluk A chu. Sambil tiada henti menangisi kemalangan keponakannya.

Pria tinggi besar yang tak lain adalah paman A chu Yuan tan si telapak besi, juga sampai menitikan air mata. Dia menatap A chu lekat - lekat dan berkata :

"A chu , mulai sekarang kau tinggalah disini bersama kami" Kata Paman Yuan sambil memegang kedua pundak A chu. Bibi Yuan menatap A chu dan menganggukan kepala Lalu kembali memeluk A chu. A chu menangis karena dia merasa terharu melihat kebaikan kedua Paman dan Bibinya.

"Dan sekarang kau bergegaslah bersih - bersih dan beristirahat. Dendam kedua orang tuamu pasti akan kami balaskan." Yuan tan berkata lembut kepada A chu. Namun tampak diwajahnya betapa emosinya sudah berapi - api.

"Adik Lim, tolong Antarkan A chu ke kamarnya!" Kata Paman Yuan kepada istrinya.

"Terima kasih banyak Paman dan juga Bibi" A chu segera menjura kepaman dan Bibinya, dia merasa sangat bersyukur karena dia masih memiliki keluarga yang begitu baik.

Bibi Yuan mengantarkan A chu ke kamar yang sudah disiapkan untuk A chu. Sebelum berpisah Bibi Yuan sempat berkata :

"A chu , sekarang Kau cobalah untuk membersihkan diri dulu , lalu beristirahat. kuatkan Hatimu A chu Tenanglah sekarang kau masih memiliki kami " Mata Bibi Yuan berkaca - kaca. dan A chu pun merasa sangat berterima kasih.

Setelah A chu membersihkan diri dia segera beranjak tidur.

Entah sudah berapa lama A chu tidak merasakan nyamannya kasur. Sekarang dia bisa lega karena telah bertemu paman dan bibinya yang sangat baik hati.

Tidak lama kemudian A chu pun terpulas.

________________________________________________________________________________________

Previous Chapter                                                                                                              Next Chapter

No comments:

Post a Comment