Bab 1 – Keturunan Terakhir Klan Biru
5 Tahun berlalu
semenjak kejadian tersebut. Awan Biru tumbuh menjadi anak yang sangat sehat dan
cerdas, namun demikian dalam hal Silat ia jauh ketinggalan dari murid-murid
yang lain, dimana ia masih berada di tingkat 3 Pembuka Energi dari 10
tingkatan. Status Awan Biru di Kuil Nimia adalah Murid Agung, sebuah titel
khusus yang hanya diberikan kepada Awan Biru sejak Kuil Nimia didirikan.
Dengan statusnya
sebagai Murid Agung, kedudukan Awan Biru diatas murid manapun bahkan melebihi
status Murid-Murid Utama, 5 Jenius yang dididik langsung oleh para Tetua. Tentu
saja, walaupun para tetua mengerti akan hal ini, namun tidak demikian dengan
Para Senior dan murid-murid Junior yang iri.
Hari itu, ketika
Awan Biru tengah berlatih ilmu tenaga dalam 4 Penjuru milik Kuil Nimia,
seseorang biksu muda berusia 8 tahun datang menghampirinya.
“Salam, abang
Awan Biru,” Ujar Biksu itu menundukkan kepalanya memberi hormat, “Semoga dewa
menunjukkan belas kasihnya kepada kita!”
“Salam, adik,”
Jawab Awan Biru membalas hormat, “Semoga dewa menunjukkan belas kasihnya kepada
kita! Ada apa?”
“Hari ini Tetua
leluhur baru saja keluar dari semedi tertutupnya. Tetua Pertama menyuruh para
murid inti, termasuk Murid Utama dan Murid Agung untuk ke Paviliun Utama untuk
menyambut Tetua Leluhur.”
Biksu kecil ini
mengucapkan kata Murid Agung dengan nada sindiran dan pandangan meremehkan,
jelas sekali kalau ia merasa iri dengan status Awan Biru.
‘Aku saja yang
baru berumur 8 tahun sudah mencapai tingkat 3,’ pikir biksu ini dalam hati,
‘kau sudah berusia 12 tahun masih tingkat 3?’
Awan Biru hanya
bisa tersenyum kecut mendapatkan hal tersebut namun itu tidak membebani
pikirannya, ia sudah sangat terbiasa.
“Baiklah, terima
kasih atas pemberitahuanmu, adik,” Ujar Awan Biru sopan sambil memberikan
hormat, “Aku akan segera menuju Paviliun Utama!”
“Baiklah, kalau
begitu aku permisi dulu, Abang,” Ujar Biksu itu membalas hormat dan berlalu.
Setelah biksu
itu pergi, Awan Biru langsung berlari kekamarnya dan mengganti baju sebelum
bergegas menuju Paviliun Utama. Ketika ia masuk, ia sudah disambut ratusan
murid-murid inti dan 5 Murid utama serta seluruh Tetua yang telah berbaris
rapih. Di atas aula, terdapat 11 Kursi Batu, dimana duduk ditengah-tengah,
seorang pria tua berambut dan berjenggot putih seperti salju. Berbeda dengan
para murid, seluruh tetua melihat Awan Biru dengan pandangan yang lembut dan
penuh kasih sayang.
Sesuai dengan
posisinya, Awan Biru berdiri di depan kelima Murid Utama dan para Murid Inti
dan memberi komando untuk menghormat.
Melihat itu,
Tetua Leluhur langsung tertawa girang dan tersenyum lepas. Pandangannya menyapu
Awan Biru dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan ketika mengetahui kalau anak
ini sehat dan gemuk, ia sangat senang. Masalah tingkatan kekuatan adalah
masalah yang tidak berarti bagi Tetua Leluhur ini.
“Awan Biru,
bagaimana keadaanmu setahun ini?” Tanya Tetua Leluhur, ia memang sering
mengurung diri untuk bersemedi bertahun-tahun, berusaha memperpanjang umurnya
hingga salah seorang muridnya mencapai tingkatan Kaisar Abadi, barulah ia bisa
meninggalkan dunia ini dengan tenang.
“Hormat kepada Guru!”
Ujar Awan Biru, “Saat ini keadaanku sangat baik dan sehat, Guru tidak perlu
khawatir!”
Tetua Leluhur
dan para tetua lainnya mengangguk senang mendapatkan jawaban dari Awan Biru.
“Kudengar kau
sudah mahir dalam berbagai ilmu strategi perang dan militer,” Kata Tetua
Leluhur lagi, “Bahkan kudengar kau telah melampaui kehebatan Tetua Indra
Wicaksana dalam hal ini, apakah benar apa yang kudengar itu?”
“Guru terlalu
memuji,”Ujar Awan Biru, “Apa yang kupelajari saat ini hanya 1/100 dari apa yang
Tetua keempat punya. Aku masih perlu banyak belajar lagi.”
“Bagus, bagus,”
Ujar Tetua leluhur senang, “Dalam hidup ilmu silat bukanlah segala-galanya.
Masih banyak cara untuk menjadi seorang manusia yang dikenang dalam sejarah!”
Awan Biru hanya
mampu tersenyum getir ketika mendengar hal tersebut. Ia tahu betul bagaimana
sejarah Klan dan hubungannya dengan Kuil Nimia ini.
‘Jika leluhurku
saja mampu menjadi yang terkuat, maka aku juga pasti bisa!’
“Baiklah,
sekarang aku ingin melihat perkembangan kalian,” Ujar Tetua leluhur mengalihkan
perhatiannya kepada Murid Utama dan Para Murid inti lainnya, “Awan Biru, kau
bisa keatas dan memperhatikan bagaimana ilmu silat mereka, ini akan menjadi
pelajaran yang sangat baik bagimu.”
“Aku mengerti,
Guru!” Ujar Awan Biru menurut dan menaiki tangga duduk di bangku kosong, disebelah
para Tetua.
Perlahan aula
tersebut dikosongkan dan menyisahkan para murid inti yang berjumlah sekitar 120
orang. Dari atas, para tetua dan para murid utama duduk memperhatikan bagaimana
pergerakan para murid inti. Beberapa kali para tetua mengangguk setuju melihat
perkembangan mereka namun ada beberapa murid pula yang membuat mereka
mengerutkan keningnya.
Setelah para
murid inti mempertunjukkan kebolehan, barulah kelima murid utama turun ke aula
dan masing-masing memperagakan teknik yang mereka miliki.
Murid utama
nomor 1 bernama Kevin Wimala, dia murid langsung dari Tetua Cahya Wijaksana,
Tetua utama nomor 1. Usianya baru 23 tahun namun kemampuan dia sangatlah hebat.
Dengan menggunakan tongkat besi, ia melompat kesana kemari dengan lincah dan
menghancurkan semua yang menghalanginya.
“Abang,” Ujar
Tetua Kedua, “Muridmu ini sungguh luar biasa. Ia berhasil mempelajari silat
kera sakti dengan sempurna, setiap gerakannya mengalir dan tidak bisa ditebak.
Bahkan, ia juga telah mencapai tingkatan Inti Energi Puncak, hanya tinggal
selangkah lagi ia kan mencapai tingkatan Inti bercahaya!”
Menanggapi
pujian adiknya, Tetua pertama hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya,
“Tidak, tidak. Kau tidak boleh memuji anak itu, nanti ia akan menjadi besar
kepala!”
“Walaupun
gerakannya halus dan bagus namun ia masih mempunyai kekurangan dalam
memanfaatkan wilayah,” Ujar Tetua leluhur kepada Tetua Pertama, “Selain itu,
dalam ilmu pernafasan Qinya tidak stabil dan selalu mengalirkan tenaga melebihi
dari keperluannya. Cahya, berikan ia 2 pil pengalir Qi dan kitab pernapasan 1
energi!”
Wajah Tetua
pertama langsung tersenyum cerah mendengar ucapan Tetua leluhur, “Terima kasih,
Inti Energi!”
Setelah Kevin
Wimala, murid kedua muncul dengan membawa golok. Dia bernama Ribut Wimala dan
usianya baru 20 tahun. Namun demikian, kemampuannya tidak kalah dengan Kevin
Wimala, dalam usianya yang muda ia telah mencapai tahapan Inti Energi.
“Ilmu silat
pembelah rupa!” ujar Tetua Kelima mengenali, “Ilmu silat ini terkenal kaku
namun sangat kuat, jika digabungkan dengan ilmu pernapasan 4 penjuru maka ia
tidak bisa terkalahkan!”
“Ilmu pernapasan
4 penjuru milik Kuil kita memang sangat terkenal,” Tetua Kedua setuju, “Akan
tetapi untuk mempelajarinya dengan sempurna diperlukan pengorbanan yang sangat
besar! Ribut Wimala tidak memiliki kesabaran yang cukup untuk mempelajari ilmu
pernapasan itu dan lebih fokus dengan ilmu goloknya. Aih, bahkan akupun sudah kewalahan
membujuk anak ini!”
“Kau tidak perlu
khawatir, berdasarkan apa yang kulihat, muridmu itu sangat tekun dalam ilmu
golok,” Tetua leluhur memberikan pendapat, “Ajarkan saja dia ilmu pernapasan
Bunga Kusuma, maka tenaga Qinya akan mulai mengalir masuk. Setelah itu, 1 tahun
kemudian, barulah kau suruh dia mempelajari kitab pernapasan 4 arah!”
“Murid mengerti,
guru!” Seru Tetua kedua senang.
Setelah Ribut
Wimala, yang masuk berikutnya adalah Kayu Wimala, murid dari Angin Wicaksana.
Berusia 21 tahun dan mempunyai kekuatan di tahapan Inti Energi. Ia menggunakan
sepasang pedang lentur dan gerakan sangat lincah.
“Qinya berada
dalam jalur yang benar,” Kata tetua leluhur, “Namun fisiknya sangatlah kurang.
Jika ia berhantaman dengan tenaga keras maka ia akan mudah terguncang dan
kalah. Suruh dia mempelajari lagi kuda-kudanya!”
“Baik, Guru,”
Ujar Tetua ketiga agak malu.
Murid utama
nomor 4 bernama Era Wimala. Dia disebut-sebut sebagai jenius dari semua jenius.
Usianya baru 18 tahun dan telah mencapai tingkatan Inti Energi awal. Sungguh
kemampuan yang sangat mengerikan. Dengan sepasang kujangnya ia memperaktekan
gerakan-gerakan sederhana namun sangat mematikan, setiap langkahnya menggunakan
Qi yang tepat hampir tidak ada celah.
“Bagus!” Puji
tetua leluhur, “Era Wimala memang seorang jenius!”
Mendengar hal
tersebut para tetua lain menjadi terdiam, hanya tetua keempat saja yang
tersenyum bangga, “Terima kasih atas pujian Guru!”
Murid terakhir
dari 5 murid utama bernama Lima Wimala. Dia berusia 20 tahun dan baru mencapai
tahapan Inti Energi awal, bisa dibilang dibandingkan keempat saudaranya dia
sangat tertinggal.
Dengan
menggunakan tombak sebagai senjatanya, Lima Wimala menyerang ke berbagai arah.
Serangannya sederhana dan tepat, tidak ada kesia-siaan dalam gerakannya.
“Bagus!” Puji
Tetua Leluhur, “Jika dia dididik dengan penuh disiplin maka tidak menutup
kemungkinan ia menjadi yang terkuat!”
Mendengar pujian
tetua leluhur semua orang langsung memandang takjub kearah Lima Wimala.
Walaupun begitu, selain Tetua leluhur dan kelima tetua utama, tidak ada lagi
yang paham alasan kenapa Lima Wimala begitu dipuji.
Setelah semua
murid selesai memperagakan jurus-jurusnya, pandangan Tetua leluhur mengarah
kepada Awan Biru.
“Sekarang
giliranmu,” Ujar Tetua leluhur, “Guru ingin sekali melihat perkembanganmu
selama setahun ini”
Awan Biru
mengangguk dan turun menuju aula.
Di atas aula,
Awan Biru mulai mempraktekan jurus-jurus yang ia tahu. Berbeda dengan para
murid utama, Awan Biru masih menggunakan jurus-jurus tangan kosong dan beberapa
teknik langkah sederhana. Walaupun begitu, tidak ada satupun ketidaksukaan
diwajah para tetua, semuanya memandang Awan Biru dengan lembut.
Melihat
bagaimana dirinya dipandang seperti itu, mau tidak mau rasa minder Awan Biru
tumbuh. Ia merasa tidak berguna dan tidak punya harapan, bahkan para tetua yang
sangat tegas tidak menaruh harapan kepada dirinya.
“Tidak buruk,”
puji Tetua Leluhur, “Jika kau berlatih lebih tekun lagi, maka kau akan bisa
menyusul kelima murid yang lain”
Tidak ada maksud
buruk dari Tetua leluhur ketika mengucapkan hal itu, ia hanya ingin agar Awan
Biru tidak menyerah. Namun, bagi para generasi junior, kata-kata ini merupakan
penghinaan.
“Murid mengerti,
guru,” ujar Awan Biru sungguh-sungguh walau didalam hatinya ia merasa teriris-iris.
Malam harinya
acara penyambutan telah selesai dan masing-masing murid kembali ke tempatnya
untuk berlatih atau melakukan tugas-tugasnya. Awan Biru juga kembali ke
paviliunnya, paviliun khusus yang diberikan Kuil Nimia kepada Klan Biru.
Paviliun ini berada di samping Paviliun utama dan tidak sembarang orang yang
dapat memasukinya.
Merasa pusing,
Awan Biru langsung menuju kamarnya. Kamar Awan Biru tergolong luas, dengan
ukuran sekitar 15 M². uniknya, dikamar itu tidak ada lemari ataupun kasur, yang
ada hanyalah sebuah kain halus yang tergantung di sisi tembok seperti gorden.
Kain itu memenuhi hampir seluruh ruangan.
Awan Biru
langsung melompat ke sisi tembok dan menutupi seluruh tubuhnya dengan kain itu.
ini merupakan teknik khusus milik klan Biru, dimana sejak kecil mereka selalu
dibiasakan untuk tidur diatas kain. Tidak mudah untuk menguasainya, bahkan Awan
Biru sering sekali jatuh sewaktu kecil, namun sekarang ia sangat mahir dalam
teknik ini, ia bahkan mampu bergerak ke setiap sisi kain hanya dengan berguling
kesana kemari tanpa terjatuh, seperti sedang menonton sirkus.
“Ayah, ibu,”
Ratap Awan Biru, “Anakmu ini sungguh bodoh dan tidak berguna. 15 tahun namun
kekuatan yang kumiliki hanya di tingkat 3 Pembuka Energi! Maafkan aku, ayah
ibu!”
Setiap hari Awan
Biru hanya mampu menangis meratapi nasibnya. Tidak ada yang tahu alasan kenapa
dirinya tidak mampu menembus tingkat 4, tidak ada yang tahu. Bahkan Tetua
leluhur yang telah mencapai tingkatan Kaisar Abadi saja tidak mengerti.
Awan Biru
terbangun setelah tidur beberapa jam saja. Walaupun hari masih sangat gelap,
namun Awan Biru mulai berlatih ilmu beladiri Klan Biru, ia bergerak kesana
kemari ke setiap ruangan tanpa sedikitpun turun dari kainnya. Dengan teknik
pernapasan yang sangat khusus Awan Biru mengalir kesetiap sisi kain, merayap
kesetiap sudut tembok, meluncur dan berguling seakan dirinya tengah menari. Ini
seperti seekor laba-laba yang berjalan mengelilingi jaringnya, namun dengan
sangat anggun dan indah.
Tidak berapa
jauh dari tempat tersebut, Tetua leluhur dan Tetua pertama memperhatikan Awan
Biru dari atas paviliun utama. Walaupun jarak antara mereka terpisah 500 meter,
namun mata kedua orang tua ini masih sangat tajam dan mampu melihat jelas
bagaimana kegiatan Awan Biru.
“Dia benar-benar
rajin,” Puji Tetua leluhur.
“Sebenarnya apa
yang terjadi terhadap tubuhnya, guru?” Tanya Tetua pertama, “Kenapa susah
sekali untuk menembus tingkat 4? Aku sudah memerintahkan para alchemist dan
tabib untuk menyiapkan obat-obatan terbaik selama tahun-tahun terakhir ini,
namun tidak ada satupun yang berhasil!”
“Dulu, ketika
aku masih seorang murid, aku pernah bertemu langsung dengan Langit Biru dan
melihat sendiri bagaimana ia berdiri di hadapan para musuh-musuh untuk
melindungi Kuil Nimia ini,” Ujar Tetua leluhur, “Aku dan banyak sekali anak
muda lainnya sangat menganggumi Langit Biru dan bertekad untuk menjadi
muridnya, namun Langit Biru tidak pernah menerima seorang muridpun sepanjang
hidupnya. Walaupun begitu, saat itu, aku tidak menyerah untuk menjadi muridnya
hingga suatu saat Langit Biru memanggilku dan menceritakan alasan ia tidak
menerima seorang muridpun.”
“Apa alasannya, guru?”
“Dia bilang
kalau ilmunya merupakan sesuatu yang tidak bisa diajari, melainkan didapatkan
secara kebetulan,” Ujar Tetua Leluhur, “Dia mengatakan kalau dirinya
mendapatkan ‘Angin Sejati’ dan menggunakannya sebagai inti dari jurus-jurusnya
tersebut. Bahkan, ia mengatakan, kalau keturunannya sajapun belum tentu bisa
mewarisi kemampuannya, apalagi orang lain”
“Angin Sejati..
Kekuatan Elemental. Aku mengerti!” Ujar Tetua pertama mengangguk, “Namun itu
tidak menjelaskan penyebab kelainan yang dimiliki Awan Biru.”
“Setelah
penolakan itu aku fokus mempelajari ilmu Kuil Nimia,” Lanjut Tetua Leluhur,
“Dan semakin aku bertambah kuat semakin aku mengerti alasan Langit Biru.
Kekuatan Elemental ‘Angin Sejati’ merubah struktur tubuh, pernapasan maupun Qi
yang Langit Biru miliki. Terlebih lagi, efek mutasi itu ikut terbawa ke
keturunannya! Itulah penyebabnya kemampuan Klan Biru semakin mundur generasi
demi generasi!”
“Rupanya
begitu,” Ujar Tetua pertama setelah terdiam beberapa saat, “Tapi, kenapa hal
ini tidak berpengaruh ke ayah Awan Biru?”
“Tebakanku
adalah, Langit Biru mewarisi beberapa ilmu kepada anak-anaknya agar Qi dalam
tubuh mereka tidak terkunci. Namun sebelum Guntur Biru memberitahukan kepada
Awan, ia sudah terlebih dahulu meninggal dunia!”
Tetua Pertama
menggertakkan giginya ketika mengingat kematian Guntur Biru. Ia masih ingat betul
bagaimana perlakuan pria itu kepada Kuil Nimia dan kepada dirinya, sungguh
orang yang luar biasa!
“Tidak adakah
yang bisa kita lakukan, guru?”
“Kurasa ada 1
cara lagi yang dapat kita upayakan!”
“Apa itu?”
“Membawa Awan
Biru menuju kuil Hati Kudus!”
“...”
“Ilmu Klan Biru
merupakan ilmu yang lembut dan halus, sangat berbeda dengan ilmu Kuil Nimia
yang kasar dan kuat,” Tetua leluhur menjelaskan, “Terlebih, ilmu silat Kuil
Hati Kudus terinspirasi dari ilmu silat Langit Biru!”
“Apakah
perempuan itu akan mau membantu kita?”
Tetua Leluhur
mengangguk, “Sebenarnya alasanku keluar dari persemedian karena adanya balasan
dari Kuil Hati Kudus ini. mereka bersedia membantu kita!”
“Itu berarti?”
“Aku
dan Awan Biru akan mengadakan perjalanan panjang!”
No comments:
Post a Comment